Langsung ke konten utama

Perihal Pustaka Bergerak oleh Nirwan Ahmad Arsuka

Nirwan Ahmad Arsuka bersama Komunitas Seni Adab

Saya akan meneruskan di bagian dimana Pak Syarif Bando sudah membuka dengan sangat bagus seminar ini, yakni peran penting pustakawan dan persaingan yang muncul di masa depan.
Rekan-rekan, saingan Anda nanti dalam 10 tahun itu, bukan hanya yang terbaik di Eropa, bukan yang terbaik dari China, atau bukan hanya terbaik dari Amerika. Saingan-saingan Anda masa depan adalah robot-robot dengan kecerdasan buatan, yang sekarang muncul di mana-mana.
Hari ini, kalau Anda membaca media sosial yang bertebaran di mana-mana, yang sering kita ributkan adalah tenaga kerja dari China. Kita meributkan pemimpin-pemimpin atau pengusaha-pengusaha yang berkebangsaan dari China. Tanpa kita sadari, tanpa kita ketahui, sejumlah perubahan besar telah mengintai kita dan memaksa kita untuk melakukan perubahan. Dan perubahan besar yang kita hadapi ini, itu hanya mungkin bisa kita menangkan kalau kita memiliki pengetahuan yang memadai. Pengetahuan yang memadai bisa kita peroleh kalau kita memiliki sistem perpustakaan yang bagus.
Kami dengan sejumlah relawan yang bergerak dari sabang hingga Merauke, dari Miangas sampai Rote, itu mencoba melakukan sedikit alternatif tawaran terhadap pengelolaan perpustakaan.
Jaringan Pustaka Bergerak ini adalah antitesis dari perpustakaan-perpustakaan yang selama ini ada yakni perpustakaan tidak bergerak. Perpustakaan tidak bergerak sangat kita butuhkan dan masa depannya juga masih sangat panjang, tetapi distribusi penduduk Indonesia memungkinkan hanya kelompok-kelompok tertentu yang bisa mengakses perpustakaan bergerak. Sebagian besar penduduk kita berada di tempat-tempat di mana perpustakaan tidak ada, sementara mereka juga punya hak, punya kewajiban ikut mendorong dan ikut didalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
***
Dedi Junaedi (Ketua Panitia) Menyerahkan Kenang-kenangan
 kepada Nirwan Ahmad Arsuka (Pustaka Bergerak Indonesia

Sekarang ini pasar buku Indonesia jumlahnya sudah semakin meningkat, tetapi kalau desa-desa sudah betul-betul bisa membelanjakan buku dengan angka seperti yang kita minta, maka pasar buku kita ini akan menjadi pasar buku yang terbesar se–Asia. Dan ini masa depan yang luar biasa cemerlang sebenarnya bagi para rekan-rekan yang tergabung dalam mahasiswa jurusan perpustakaan.
Tetapi seperti yang sudah dibilang di depan, kita tidak bisa lagi mengelola perpustakaan dengan cara yang konvensional. Kawan-kawan setelah selesai, Anda akan menghadapi perpustakaan seperti biasanya, maka anda tak punya hak lagi, Anda harus mulai berpikir dari sekarang bagaimana mengelola perpustakaan secara radikal.
Nirwan Ahmad Arsuka bersama Ketua HMPII terpilih

Mungkin dalam kongres ini, kawan-kawan bisa menyediakan bagaimana misalnya agar semua universitas Indonesia yang memiliki jurusan perpustakaan, itu juga punya unit kegiatan mahasiwa pustaka bergerak. Sehingga kawan-kawan unit yang satu dengan unit yang lain, misalnya pencinta alam, merancang kegiatan bersama untuk membawa buku dan memperkenalkan ke masyarakat.

Mungkin juga bisa berupaya membuat rumah-rumah ibadah menjadi perpustakaan besar. Yang pasti rumah ibadah kita yang gedungnya bagus itu, seringkali bukan tempat kebanyakan orang jika ingin mencari pengetahuan. Kalau misalnya rumah ibadah ini bukan hanya menjadi tempat pelaksanaan ritual, tetapi juga tempat berdiskusi, maka gerakan penyebaran pengetahuan itu akan semakin besar kemungkinannya berhasil.
Yang pasti kawan-kawan gerakan pustaka yang kita lakukan ini adalah sebuah upaya, sebuah perlawanan yang berlapis-lapis. Kita melawan mitos-mitos bahwa masyarakat Indonesia itu tidak bisa bergerak kalau misalnya tidak dibantu oleh pemerintah. Tenyata kita bisa melakukan itu, karena gerakan kita luar biasa besarnya. Kita melawan mitos bahwa pribumi Melayu itu malas membaca. Kita sudah tunjukkan bahwa mitos itu palsu, masyarakat kita rupanya sangat rajin membaca. Anak-anak kita sangat pintar.

Segala macam kendaraan, mulai dari becak, motor, di pakai untuk menjangkau pembaca. Kenapa? Karena perpustakaan hanya hidup dengan membaca. Tanpa pembaca, perpustakaan tidak ada artinya. Sebagus apapun sebuah perpustakaan, selengkap apapun koleksi, jika perpustakaan itu tidak dibaca maka dia tidak berhak disebut perpustakaan. Lebih pantas disebut gudang. 

Kami mencoba mengubah ini dengan membawa buku-buku ke pembaca. Setelah buku-buku ini di bawa ke pembaca, terasa bahwa problem dari masyarakat Indonesia itu sebenarnya bukan minat bacanya yang rendah. Sebagaimana yang banyak disebut-sebut belakangan ini. Rupanya problem masyarakat kita itu adalah bukunya yang tidak ada.
 

Buku-buku yang kita antar ke pembaca disambut dengan semangat yang luar biasa. Mereka selalu berkumpul untuk membaca buku-buku tersebut. Relawan-relawan kita pun selalu ditunggu kedatangannya, padahal buku-buku yang mereka bawa adalah buku-buku bekas. Tapi apa yang menjadi buku bekas di Makassar, di Jakarta, itu menjadi barang mewah di Papua, menjadi barang mewah di pedalaman. Relawan yang mengantar itu menjadi teman yang luar biasa penting bagi anak-anak.
 

Dan setelah kita mencoba memecahkan akses itu dengan berbagai kendaraan tadi, kita meminta bantuan pemerintah untuk memperluas akses. Kita beruntung karena Presiden Joko Widodo dengan cepat tanggap memenuhi permintaan dari para relawan agar sehari dalam sebulan PT Pos Indonesia menggratiskan kiriman ke berbagai penjuru.
Tanggal 17 hari ini, banyak sekali donator dari seluruh Indonesia yang sedang antri di kantor pos bawa buku dan mengirim ke berbagai penjuru tanah air. Itu sumbangan yang luar biasa penting. Dan hari tanggal 17 yang juga merupakan tanggal proklamasi, itu menjadi hari keramat bagi gerakan pustaka Indonesia.
 

Di hari ini (tanggal 17), nasionalisme orang-orang Indonesia ternyata menjadi lebih kuat. Mereka tidak saling kenal, mereka tidak tahu siapa yang mengirim buku, tapi mereka tahu bahwa di tempat lain di Indoensia, ada orang yang peduli pada mereka. Indonesia menjadi kenyataan konkret bagi banyak orang di hari tanggal 17 itu.
Perpustakaan Nasional pun mendukung kita dengan memperbanyak motor pustaka. Pak Syarif Bando dan jajarannya sudah menghibahkan sekitar 60 motor pustaka untuk relawan di seluruh Indonesia. Dengan adanya motor, jangkauannya lebih luas dan beraneka ragam. Mudah-mudahan sumbangan-sumbangan datang dari pihak lain, tidak hanya perpustakaan nasional, sebab tugas ini adalah tugas besar dalam pemerataan pengetahuan.


Disampaikan pada acara Seminar Nasional Himpunan Mahasiswa Perpustakaan dan Informasi Indonesia (HMPII) di UIN Alauddin Makassar, 17 November 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekilas Tentang HMPII

Sedikit sejarah singkat bahwa perlu diketahui pada 24 Oktober 2002 di Jogjakarta yang dihadiri oleh HMJ Ilmu Perpustakaan UGM, BEM-J IPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan HMPSD Perpin Undip yang membentuk FKMPI (Forum Komunikasi Mahasiswa Perpustakaan dan Informasi) yang dilanjutkan kembali pada FKMPI II pada 25-27 Mei 2003 di Jakarta yang diikuti 12 himpunan namun tidak tercapai kesepakatan. Maka dari itu dibentuk KNMPI (Konggres Nasional Mahasiswa Perpustakaan dan Informasi) di Unpad pada 2004 yang di ikuti 13 himpunan. Pada tanggal 1 Maret 2004 di Unpad Bandung merupakan tanggal bersejarah yang dilaksanakan pada tanggal 29 Februari - 3 Maret 2004, sebab pada tanggal tersebut adalah awal mula eksistensi mahasiswa perputakaan dan informasi dalam mengembangkan dan memperjuangkan keberadaan profesi pustakawan dan juga ahli informasi.  Himpunan Mahasiswa Perpustakaan dan Informasi Indonesia (HMPII) adalah organisasi mahasiswa perpustakaan dan informasi dari berbagai perguruan ti

Hasil Kongres HMPII Ke-6

Silahkan Unduh pada gambar di bawah ini       Kongres HMPII Ke-6